Peternakan Domba Garut "Toekang Domba"

Salam Peternak Indonesia!
"Toekang Domba" adalah nama peternakan khusus Domba Garut yang kami kelola untuk pembibitan domba garut unggul. Peternakan Domba Garut "Toekang Domba" adalah langkah kecil kami dalam upaya turut melestarikan ternak asli Indonesia khususnya Domba Garut. Peternakan "Toekang Domba" berlokasi di daerah Soreang sebelah selatan kota Bandung yang merupakan daerah yang nyaman dan sejuk dengan ketinggian 800 meter diatas permukaan laut.



Sabtu, 05 September 2009

Pelestarian Domba Garut Melalui Budaya Domba Tangkas (Domba Adu)

Domba Garut merupakan salah satu ternak yang dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai ternak aduan yang merupakan salah satu budaya turuntemurun yang tetap dilestarikan. Selain mempertahankan budaya itu sendiri, juga mempertahan domba garut sebagai domba aduan yang memiliki kualitas tersendiri. Dengan dipertahankannya suatu bangsa ternak, maka semua
kualitas ternak dari yang jelek, sedang dan baik dapat dijumpai disuatu wilayah dimana ternak tersebut dilestarikan.
Beraneka ragamnya kualitas ternak yang tersedia tersebut, bila ditinjau dari sisi sosial budaya maka semua lapisan masyarakat khususnya para petani - ternak dapat memelihara ternak sesuai dengan selera dan kemampuan finansialnya. Bila ditinjau dari sisi breeding - reprodukasi, maka pengaturan perkawinan selain untuk meningkatkan populasi dan memperpendek jarak beranak juga dapat menghindari perkawinan sedarah (inbreeding). Jadi pelestarian domba Garut dapat dilakukan dengan mempertahan budaya domba adu atau domba laga. Dalam kurun waktu tertentu akan muncul ternak yang unggul akibat seleksi alam. Dalam mempertahankan salah satu bangsa ternak tersebut, adalah melalui budaya seperti yang sekarang sudah ada yaitu budaya domba laga atau domba aduan. Budaya ini sejak lama dan secara turun-temurun berkembang di wilayah Periangan khususnya di kota Garut yang dikenal dengan domba Garutnya.
Yang terpenting adalah bagaimana caranya agar pada bangsa domba Garut tersebut tidak terjadi perkawinan sedarah (inbreeding). Untuk mengatasi hal itu, maka harus didatangkan ternak dari luar yang berasal dari rumpun yang sama. Beraneka ragamnya kualitas ternak yang tersedia tersebut, bila ditinjau dari sisi sosial budaya maka semua lapisan masyarakat khususnya para petani - ternak dapat memelihara ternak sesuai dengan selera dan kemampuan finansialnya. Dengan beranekaragamnya sifat dan selera masyarakat tersebut diharapkan perkawinan sedarah pada ternak yang dipeliharanya dapat dihindarkan. Untuk tetap terjaganya domba Garut tersebut tentunya Pemerintah harus menetapkan wilayah yang diperuntukan untuk pelestarian dan pemurnian domba Garut tersebut dengan jalan tidak memasukkan ternak domba dari rumpun lain masuk ke wilayah pelestarian tersebut.

Sejarah Adu Domba
Domba Garut yang sekarang ini berasal dari domba Merino yang masuk ke kota Garut pada tahun 1869, dan terjadi persilangan dengan domba lokal dan domba Kaapstad, kemudian secara bertahap menyebar ke beberapa wilayah seperti ke Limbangan, Kabupaten Sumedang dan Bandung (Merkens dan Soemirat, 1926 Dalam Heriyadi. , 2008). Domba Garut dipercaya berasal dari domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja yang memiliki ciri sangat spesifik, yaitu memiliki kombinasi telinga rumpung (rudimenter) dengan ukuran di bawah 4 cm atau ngadaun hiris dengan ukuran 4 - 8 cm dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong, warna dominan hitam terutama pada bagian muka dengan bentuk tubuh ngabaji (Heriyadi dan Surya, 2004 Dalam Heriyadi., 2008). Pada tahun 1900, bermula dari anak gembala yang iseng ketika melihat domba yang digembalakannya memiliki sifat agresif, maka para gembala domba tersebut disela -sela waktu menyabit mengadu domba - domba jantan yang ada disekitar mereka. Tahun 1905 orang tua para gembala atau para juragan
pemilik domba, mulai tertarik dan membuat agenda khusus untuk menyelenggarakan kegiatan adu domba antar kampung, sehingga lama kelamaan kegiatan tersebut mulai menyebar luas ke daerah lain, seperti ke Wilayah Kabupaten Bandung dan Sumedang. Tahun 1920-1930 kegemaran adu domba ini mulai ditampilkan di daerah perkotaan, termasuk pemah diselenggarakan di Alun-alun Bandung. Tahun 1942 -1949 kegiatan adu domba fakum, karena masa perang kemerdekaan. Tahun 1953 kegiatan adu domba mulai marak kembali, bahkan pada Tahun 1960 bermunculan ARENA -ARENA adu domba. Tahun 1970-an didirikan organisasi HPDI (Himpunan Peternak Domba Indonesia), kemudian tahun 1980 berubah menjadi HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia) dan disepakati untuk mengubah istilah adu domba menjadi ketangkasan domba, hal ini untuk mengubah citra adu domba yang negatif dan terkesan senantiasa terkait dengan perjudian, menjadi istilah yang memiliki konotasi positif. Selanjutnya di bawah wadah HPDKI ini hampir setiap tahun menjelang hari-hari bersejarah diadakan kontes dan ketangkasan Domba Garut antar Kabupaten dan Kotamadya se-Jawa Barat. Tahun 1983 diadakan kontes dan ketangkasan domba di Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan, sekaligus diselenggarakan rapat HPDKI yang dihadiri hampir seluruh perwakilan cabang. Salah satu butir rapat yang disetujui adalah mengubah istilah kontes dan ketangkasan domba menjadi Kontes Seni Ketangkasan Domba, sehingga dalam penyelenggaraan selanjutnya penekanan tangkas lebih diarahkan pada seni bukan pada tangkasnya. Penilaian lebih dititikberatkan pada adeg-adeg (postur, jingjingan, ules, warna bulu,corak atau motif bulu), keindahan pengambilan ancang-ancang, pola serangan atau teknik pukulan, teknik menghindar dan hal-hal lain yang menyangkut estetika (Herdiyadi, 2008) Evaluasi Produktivitas Diketahui bahwa domba tangkas (domba adu) yang merupakan domba Garut di daerah Periangan, adalah merupakan bagian kecil dari seni budaya yang ada di Indonesia yang secara tidak langsung ikut melestarikan ternak domba Garut tersebut. Sebagai contoh, para peternak domba tangkas (domba aduan) di Jawa Barat sudah terbiasa memilihara ternak domba Garut dengan baik, seperti memandikan ternak, menggunting kuku, memangkas bulu agar kelihatan indah dan memberikan pakan yang berkualitas (konsentrat, mineral dan jamu). Dengan pemeliharaan seperti itu maka akan memberikan pertumbuhan yang baik, bahkan dapat mencapai bobot hidup 100 kg (Sutisna. ,2001). Dikatakan lebih lanjut bahwa sebagian peternak domba adu / laga (domba tangkas) telah melakukan pemurnian bangsa dengan melakukan pencatatan khususnya mengenai silsilah baik domba jantan maupun betina.domba Garut. Damayanti et al., (2001) menyatakan bahwa domba Garut termasuk bangsa domba yang memiliki tingkat kedewasaan lebih awal, jarak beranak pendek dan pada domba jantan memiliki libido tinggi, kemudian bobot hidup jantan dan betina dewasa masing - masing mencapai 40 - 85 kg dan 34 - 59 kg. Menurut Ramada (2007) bahwa domba Garut jantan dapat memiliki berat sekitar 60 - 80 kg bahkan ada yang dapat mencapai lebih dari 100 kg. Sedangkan domba betina memiliki berat antara 30 - 50 kg. Ciri fisik Domba Garut jantan yaitu bertanduk, berleher besar dan kuat, dengan corak warna putih, hitam, cokelat atau campuran ketiganya. Ciri domba betina adalah dominan tidak bertanduk, kalaupun bertanduk namun kecil dengan corak warna yang serupa domba jantan. Sejatinya, kontes domba tangkas/laga (domba adu) di daerah Periangan Jawa Barat, merupakan bagian dari budaya yang memberikan sumbangsih kepada pelestarian dan pemurnian domba Garut. Hendaknya Pemerintah membeli domba tangkas/laga (domba adu) yang menang kontes untuk dijadikan bibit unggul.

Hastono
Penulis dari Balai Penelitian Ternak
Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 1 April 2009

Pertumbuhan Inklusif dalam Pembangunan Peternakan

Revolusi peternakan yang ditandai dengan kian meningkatnya konsumsi daging dan susu per kapita–bersamaan dengan meningkatnya pendapatan–merupakan salah satu sumber pertumbuhan pertanian yang signifikan di negara-negara berkembang. Di India misalnya, seiring dengan peningkatan pendapatan, konsumsi susu meningkat dua kali lipat antara awal 1980-an dan akhir 1990-an. Sementara di China, jika pada 1985 penduduknya hanya mengkonsumsi 20 kg daging/kap/tahun, kini meningkat menjadi lebih dari 50 kg daging/kap/tahun.

Revolusi peternakan ini juga didukung oleh revolusi supermarket sehingga meningkatkan pasokan protein dan menyediakan menu makanan yang lebih beragam. Tak ayal, supermarket menjadi kian dominan dalam bisnis ritel produk pertanian domestik. Apalagi didukung dengan adanya kecenderungan konsumen kian meningkatkan perhatian pada kualitas dan keamanan makanan. Selera atau preferensi makanan pun ikut mengglobal. Faktor lain, masuknya jaringan supermarket multinasional yang kemudian berkembang dengan cepat. Perubahan permintaan konsumen ini kemudian mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan jasa makanan.

Sayangnya, revolusi peternakan dan revolusi supermarket sejauh ini dinilai belum dapat memberikan pertumbuhan yang inklusif secara optimal. Yaitu pertumbuhan yang tidak hanya menguntungkan peternak atau pelaku usaha peternakan berskala besar, tetapi juga meningkatkan peran serta peternak atau pelaku usaha berskala kecil.

Dorong Peran Serta Peternak

Dampak pertumbuhan peternakan terhadap peternak skala kecil bergantung pada peran serta mereka di pedesaan dalam pasar peternakan yang bernilai tinggi (high-value commodity). Upaya mendorong peran serta peternak berskala kecil tersebut membutuhkan infrastruktur pasar, peningkatan kemampuan teknis peternak, instrumen manajemen risiko dan tindakan kolektif melalui berbagai organisasi produsen.

Sementara itu permintaan produk peternakan primer dan olahan yang bernilai tinggi naik dengan pesat didorong oleh pendapatan yang meningkat, liberalisasi perdagangan yang semakin intensif, investasi asing (foreign direct investment) dan kemajuan teknologi. Perkembangan-perkembangan ini memperluas kesempatan pasar yang penting untuk mempercepat pertumbuhan peternakan, pengolahan dan jasa peternakan, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan di pedesaan. Pasar baru tersebut menuntut kualitas, pasokan yang tepat waktu dan skala ekonomis tinggi.

Tak hanya itu, peningkatan nilai tambah produk bernilai tinggi juga membutuhkan sistem pemasaran yang berfungsi baik sehingga dapat mengurangi biaya pemasaran dan ketidakpastian pasokan, memperbaiki ketahanan pangan dan lebih mendekatkan peternak dengan konsumennya. Dengan cara ini, sistem pemasaran akan menciptakan sinyal-sinyal kepada peternak mengenai peluang-peluang.

Walau demikian, revolusi peternakan tidak serta merta mengurangi kemiskinan. Sebab, bisnis ini menuntut pengelolaan secara intensif (management intensive), berisiko tinggi–baik karena penyakit maupun fluktuasi harga–serta membutuhkan investasi yang tidak sedikit.

Faktanya, revolusi peternakan lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta dan pasar. Tak pelak, peranan supermarket yang mengandalkan manajemen rantai pasokan (supply chain management) yang baik menjadi keniscayaan. Namun, kualitas dan standar yang telah ditetapkan tersebut justru kerap mempersulit peternak skala kecil bertindak sendiri-sendiri untuk mengambil bagian di pasar ini. Dalam kaitan inilah mereka memerlukan pertanian kontrak (contract farming) dan tindakan kolektif dari berbagai organisasi produsen yang ada.

Pasar yang efisien membutuhkan manajemen dan kebijakan pemerintah yang baik terkait dengan infrastruktur, kelembagaan dan layanan penyedia informasi pasar, menetapkan grading dan standar, mengelola risiko dan pelaksanaan kontrak perjanjian. Perlu dicatat bahwa pasar yang efisien pun belum tentu menjamin hasil akhir (keuntungan) yang adil. Dalam hal keadilan memperoleh marjin ini, peternak atau pelaku usaha berskala kecil perlu membangun daya tawar mereka melalui berbagai organisasi produsen yang didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak pada mereka.

Oleh: Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.
Direktur Program Pascasarjana MB IPB

Dikutip dari http://www.trobos.com

Mimpi, Peternak Miskin Bisa Maju

Ketika pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian, terbersit difikiran saya bahwa segala fasilitas untuk memajukan pertanian akan sangat mudah diakses oleh siapapun, termasuk oleh rakyat miskin di pedesaan yang notabene mereka merupakan tulang punggung dunia pertanian di Indonesia. Pertanian yang di dalamnya termasuk peternakan tidak akan lepas dari peran penting para petani peternak. Merekalah yang selama ini menjadi pelaku utama dunia pertanian dengan berbagai kisah sedih dan senang yang saling bergantian, namun mereka tetap tegar dan pantang menyerah. Peternak yang dimaksud adalah peternak kecil, hidup di desa dengan akses yang sulit, skala usahanya sangat kecil, sistem pemeliharaanya masih tradisional, tidak memperhitungkan untung rugi, yang penting bisa makan. Saya minta izin untuk menyebutnya peternak miskin.

Peternak miskin

Sosiolog memberikan ciri kepada orang miskin dengan 3 kriteria, yaitu : bodoh, terbelakang, dan kekurangan materi. Tiga ciri tersebut memperlihatkan bahwa mereka kurang ilmu pengetahuan karena kesulitan mengakses pendidikan, kemudian kurang berinteraksi dengan dunia luar akibat kesulitan mendapatkan akses informasi dan transportasi, dan terakhir adalah kekurangan untuk mendapatkan modal usaha. Jika kita gabungkan pengertian peternak miskin, secara garis besar ciri-cirinya seperti penjelasan di atas. Bagaimana bisa berubah menjadi peternak sukses dengan skala usaha lebih besar jika akses-akses tersebut di atas sulit diperoleh.

Curah Pendapat

Untuk meningkatkan derajat hidup para peternak miskin setidaknya minimal ada tiga langkah dengan tujuan utama menghapuskan segala penghalang untuk memperoleh ketiga akses tersebut di atas. Ketiga langkah tersebut meliputi, pertama, mempermudah akses peternak untuk memperoleh pendidikan tentang peternakan (dari budidaya sampai pemasaran atau bahkan pengolahan pascapanen). Langkah ini dapat difasilitasi dengan memberikan pelatihan secara integral kepada peternak tentang pengelolaan peternakan dari hulu sampai hilir. Teknisnya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah melalui dinas peternakan atau pertanian setempat dan tenaga penyuluh. Bisa juga dilakukan oleh perguruan tinggi melalui kuliah kerja nyata (KKN) mahasiswa, lembaga pengabdian masyarakat atau pelatihan gratis. Selain itu peran serta lembaga swadaya masyarakat yang consern terhadap sumber daya manusia peternak di pedesaan akan dapat pula membantu memberikan pengetahuan teknologi peternakan. Selama ini kegiatan tersebut di atas sudah banyak dilakukan.

Langkah kedua adalah mempermudah peternak untuk mendapatkan informasi dan kemudahan transportasi. Informasi yang cukup dan kemudahan sarana transportasi akan meningkatkan daya saing peternak terutama untuk memasarkan hasil ternaknya. Peternak bisa langsung menjual hasil ternaknya ke pasar tanpa harus melalui pengumpul, sehingga harga yang diperoleh secara otomatis akan lebih tinggi. Untuk langkah kedua ini peran dari pemerintah yang paling diandalkan, karena masalah informasi dan transportasi merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasinya.

Langkah yang ketiga merupakan langkah yang tidak kalah pentingnya setelah akses pendidikan, informasi dan transportasi, yaitu akses modal usaha. Sumber modal usaha bisa diperoleh dari pemerintah (APBN dan APBD), perbankan, swasta (investasi atau hibah). Untuk sumber modal dari pemerintah selama ini telah banyak program yang diberikan berupa ternak, baik dari Departemen Pertanian, Departemen Sosial, Departemen Koperasi dan UKM, bahkan dari Departemen Agama. Semuanya tiada lain adalah program yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, namun jika diamati keberhasilan program-program tersebut belum terlihat secara nyata dan hanya bertahan kurang dari lima bulan. Kelemahan program yang bernuansa hibah atau bantuan langsung ini adalah tidak adanya pendampingan dan evaluasi yang rutin, jadi hanya proyek ”bagi-bagi ternak”. Sungguh tidak mendidik !.

Sumber modal lainnya adalah berasal dari institusi swasta, kelompok orang, partai politik, atau investor dari luar negeri, dananya dapat berupa hibah murni atau investasi. Untuk hibah dapat dialokasikan dari dana sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau dana-dana alokasi untuk kemanusiaan. Seperti penjelasan di atas, sebagai sebuah catatan, dana-dana sosial tersebut harus disalurkan dengan diikuti oleh pendampingan yang intensif baik teknis beternak maupun kelembagaan peternaknya. Selanjutnya adalah investasi dari perusahaan dan kredit modal usaha dari perbankan. Terkait dengan dana investasi dari perusahaan dan kredit dari bank tentunya akan lebih berat persyaratan dan proses pengurusannya.

Setidaknya ada 3 hal yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh peternak, yaitu :

1. Bergabung dalam sebuah kelompok dan membentuk lembaga lokal yang kuat, kredibel, dan mampu menjalankan usaha

2. Adanya jaminan/lembaga penjamin

3. Memiliki skala usaha yang ekonomis

Dalam rangka memenuhi ketiga persyaratan di atas dapat dilakukan melalui pembinaan yang terus-menerus dari berbagai pihak. Pemerintah atau lembaga lainnya dapat melakukan pembinaan kepada kelompok-kelompok peternak yang sudah ada atau yang baru dibentuk. Pembagian tugas dapat dilakukan antar departemen atau dinas terkait. Salah satu contoh, Dinas Peternakan dapat melakukan pembinaan dalam hal kemampuan teknis beternak dan pengolahan hasil ternak. Dinas Koperasi dan UKM memberikan pembinaan dalam peningkatan kapasitas peternak untuk mengelola kelembagaan koperasi, pencatatan, dan perhitungan kelayakan usaha. Dinas Perizinan dan Investasi dapat memberikan kemudahan kepada perusahaan yang akan berinvestasi di wilayah tugasnya terutama kegiatan investasi tersebut dijalankan oleh peternak. Secara umum dalam aplikasi teknisnya semua aparat pemerintah di semua bidang tertuju kepada peningkatan kapasitas peternak dan kelompoknya melalui kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing.

Khusus untuk kredit dari perbankan, biasanya pihak bank mensyaratkan adanya jaminan, baik berupa tanah, bangunan, atau surat berharga. Persyaratan tersebut akan sangat menyulitkan peternak miskin untuk memenuhinya. Untuk itu peranan pemerintah sangat diperlukan untuk membantu peternak-peternak kecil yang kesulitan modal. Yang selama ini telah dilakukan pemerintah adalah membentuk lembaga penjamin, namun pada kenyataannya di daerah yang terpencil lembaga tersebut belum terasa manfaatnya bagi peternak miskin. Bahkan ada beberapa daerah yang tidak bersedia membentuk lembaga penjamin dengan alasan khawatir terjadi kredit macet, karena yang akan menanggung resikonya pasti pemerintah. Bukannya pemerintah itu ada untuk menanggung semua kebutuhan rakyat ? Demi rakyat ko takut ?. Upaya pemerintah lainnya adalah memberikan subsidi bunga kepada debitor, sehingga bunga yang harus dibayar oleh peternak jumlahnya lebih kecil. Dengan program ini pun tidak banyak peternak yang memanfaatkannya karena tetap harus ada jaminan.

Penjamin Non Pemerintah

Pada dasarnya yang disyaratkan pihak bank adalah jaminan, sedangkan yang memiliki jaminan disebut penjamin. Apakah jaminan itu milik individu atau kelompok tidak dipermasalahkan, sehingga dengan logika sederhana penjamin yang dimaksud bisa perorangan, kelompok orang atau sebuah lembaga.

Kita sering mendengar seseorang meminjam uang dari bank dengan jaminan rumahnya, tanahnya, kendaraannya, bahkan SK pengangkatan PNSnya. Artinya setiap individu dapat menjaminkan salah satu dari harta miliknya untuk dijadikan jaminan pada saat akan meminjam uang. Seharusnya bisa juga seseorang menjaminkan salah satu hartanya untuk dijadikan jaminan pihak bank, ketika saudaranya, temannya, tetangganya, atau bahkan orang lain akan meminjam uang untuk modal usaha. Sungguh sebuah kebaikan yang tidak dapat diukur dengan harta apabila ada orang yang menjaminkan hartanya demi kemajuan saudaranya.

Sebenarnya bisa juga anggota dari sebuah kelompok yang memiliki jaminan meminjam modal sejumlah tertentu, setelah uang diterima, selanjutnya uang tersebut dibagi-bagi kepada anggota lainnya untuk dipinjam. Dengan kata lain meminjam kepada bank atas nama orang yang memiliki jaminan. Pembayaran cicilannyapun melalui orang yang meminjam ke bank, sehingga yang tidak punya jaminan dapat memperoleh kredit.

Tidak hanya individu yang dapat memberikan jaminan, tetapi kelompok orang atau lembaga non pemerintah lainnya. Kelompok orang bisa berbentuk perkumpulan, paguyuban, kelompok profesi, bahkan partai politik. Bagi partai politik mungkin ini bisa dijadikan salah satu media kampanye yang langsung dapat dirasakan oleh peternak miskin di pelosok desa. Partai tersebut tidak harus teriak-teriak membeberkan program atau janji-janji yang semakin hari semakin tidak dipercayai rakyat. Dengan paparan di atas semakin yakin bahwa peternak dapat maju dan mencapai kesejahteraannya apabila semua stakholders dapat berperan sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya, tentunya tanpa mengesampingkan peran sentral dari pemerintah. Wallaahu a’lam bisshawaab.'

dikutip dari : http://www.kampoengternak.or.id

Peternakan, Sumber Pertumbuhan Baru di Jabar

Tujuan pembangunan ekonomi suatu negara umumnya mengacu pada agenda internasional yang terangkum di dalam konteks Millennium Development Goals atau MDGs, yaitu pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pengentasan kemiskinan, kerawanan pangan, dan peningkatan kualitas kesehatan manusia dan lingkungan (UNDP, 2005).

Pada dekade ini, menurut Bank Dunia (2006), masih terdapat sekitar 1,1 miliar manusia di jagat ini yang memiliki pendapatan ekonomi kurang dari 1 dollar AS per hari. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya hidup di wilayah pedesaan, di mana usaha tani dalam arti luas merupakan satu-satunya opsi untuk bertahan hidup.

Berdasarkan hal tersebut, diyakini bahwa sektor pertanian dengan seluruh subsektornya merupakan komponen paling substansial dalam proses pembangunan ekonomi, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Dalam perspektif pembangunan ekonomi terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa Jawa Barat saat ini sangat memerlukan upaya-upaya signifikan untuk mengakselerasi laju pembangunan dan pertumbuhan ekonominya.

Beberapa permasalahan pembangunan ekonomi yang masih dihadapi Jabar saat ini direfleksikan oleh data yang menunjukkan bahwa, pertama, pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) masih rendah, yaitu baru mencapai 70 atau peringkat ke-14 dari 33 provinsi. Rinciannya, IPM pendidikan mencapai 80 dan kesehatan 70. Adapun indeks daya beli ternyata cukup rendah, yaitu 60 atau setara dengan Rp 557.000 per bulan. Kedua, tingkat kemiskinan mencapai sekitar 12 juta jiwa dari 40 juta jiwa penduduk di Jabar. Ketiga, jumlah penganggur terbuka mencapai lebih dari 5,4 juta jiwa atau sekitar 16 persen dari jumlah angkatan kerja.

Selain angka dan data tersebut, beberapa fakta lingkungan yang terjadi sebagai akibat pemanasan global, yaitu banjir, longsor, angin puting beliung, curah hujan yang tinggi, masalah sampah, dan gagal panen pertanian, memperburuk kondisi dalam membangun ekonomi di Jabar.

Peternakan

Berdasarkan berbagai fenomena, fakta, dan data yang ada, untuk membangkitkan pembangunan ekonomi di Jabar setiap sektor harus mampu berkontribusi terhadap pengentasan serta merespons berbagai kendala dan permasalahan itu dengan fokus utama meningkatkan daya beli.

Berbagai upaya yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Jabar untuk mengatasi masalah tersebut tercermin dalam common goals-nya, yaitu peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; ketahanan pangan fokus pada komoditas beras, jagung, kedelai, dan ketersediaan protein hewani; peningkatan daya beli masyarakat; peningkatan kinerja aparatur; penanganan pengelolaan bencana; pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan; pengembangan infrastruktur; serta kemandirian energi dan air baku.

Mampukah subsektor peternakan berkiprah? Melihat berbagai fenomena itu, sebenarnya subsektor peternakan akan dan harus mampu menjawab sebagian besar amanat common goals Jabar. Hal ini didasarkan pada berbagai sejarah, fakta, dan data yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, bahwa subsektor peternakan mampu memberikan kontribusi pendapatan terhadap sektor pertanian sebesar 12 persen dengan pangsa tenaga kerja sekitar 30 persen.

Sektor industri dan jasa diandalkan memberikan pangsa pendapatan sebesar 51 persen, tetapi pangsa tenaga kerjanya hanya sekitar 18 persen. Berdasarkan data tersebut, ternyata subsektor peternakan telah memberikan kesempatan kerja yang jauh lebih luas daripada sektor industri dan jasa.

Hal ini dibuktikan pula dengan data Bapeda (2008) bahwa ternyata pada subsektor peternakan tiada seorang pun masuk kategori kelompok masyarakat miskin. Hal ini sangat mudah dimengerti karena seorang peternak tentu memiliki aset ternak yang bisa dikonsumsi kapan saja jika diperlukan.

Meningkat

Jika dilihat, kontribusi subsektor peternakan terhadap pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor pertanian di Jabar dari tahun 2000 hingga kini ternyata menunjukkan tren meningkat (r = 12,25 persen). Lihat tabel.

Walaupun pangsa subsektor peternakan terhadap PDRB pertanian di Jabar masih sangat kecil (8-15 persen), setiap tahun jumlahnya menunjukkan peningkatan sangat berarti, khususnya bila dibandingkan dengan subsektor tanaman pangan (r = -1,68), perkebunan (r = 0,6), kehutanan (r = -10,20), dan perikanan (r = -3,95).

Hal yang perlu diingat ialah bahwa pangsa peternakan mulai "take-off", sedangkan subsektor lain menuju landing. Mengapa semua hal tersebut terjadi? Fenomena ini sebenarnya sangat alamiah dan rasional karena subsektor peternakan dalam pembangunan pertanian merupakan unsur kunci yang tidak boleh ditinggalkan.

Selama ini tampaknya fungsi ternak di tengah masyarakat tani mulai bergeser, pupuk kandang diganti dengan pupuk anorganik yang bersubsidi, sedangkan pupuk kandang tidak disubsidi sehingga lahan mulai miskin hara. Ternak dipandang sebagai komoditas atau sumber pangan, bukan sebagai sumber daya. Salah kaprah cara pandang seperti inilah yang membuat para penentu kebijakan di lapangan memisahkan ternak dari fungsinya sebagai sumber daya sektor pertanian yang harus dijaga kelestariannya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak berlebihan jika peternakan disebut sebagai sumber pertumbuhan baru sektor pertanian di Jabar yang harus tetap dijaga untuk membangun ekonomi, khususnya masyarakat di pedesaan.

ROCHADI TAWAF Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Unpad dan Ketua II PB ISPI

Dikutip dari www.kompas.com (06/05/2009)