Peternakan Domba Garut "Toekang Domba"

Salam Peternak Indonesia!
"Toekang Domba" adalah nama peternakan khusus Domba Garut yang kami kelola untuk pembibitan domba garut unggul. Peternakan Domba Garut "Toekang Domba" adalah langkah kecil kami dalam upaya turut melestarikan ternak asli Indonesia khususnya Domba Garut. Peternakan "Toekang Domba" berlokasi di daerah Soreang sebelah selatan kota Bandung yang merupakan daerah yang nyaman dan sejuk dengan ketinggian 800 meter diatas permukaan laut.



Sabtu, 05 September 2009

Pelestarian Domba Garut Melalui Budaya Domba Tangkas (Domba Adu)

Domba Garut merupakan salah satu ternak yang dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai ternak aduan yang merupakan salah satu budaya turuntemurun yang tetap dilestarikan. Selain mempertahankan budaya itu sendiri, juga mempertahan domba garut sebagai domba aduan yang memiliki kualitas tersendiri. Dengan dipertahankannya suatu bangsa ternak, maka semua
kualitas ternak dari yang jelek, sedang dan baik dapat dijumpai disuatu wilayah dimana ternak tersebut dilestarikan.
Beraneka ragamnya kualitas ternak yang tersedia tersebut, bila ditinjau dari sisi sosial budaya maka semua lapisan masyarakat khususnya para petani - ternak dapat memelihara ternak sesuai dengan selera dan kemampuan finansialnya. Bila ditinjau dari sisi breeding - reprodukasi, maka pengaturan perkawinan selain untuk meningkatkan populasi dan memperpendek jarak beranak juga dapat menghindari perkawinan sedarah (inbreeding). Jadi pelestarian domba Garut dapat dilakukan dengan mempertahan budaya domba adu atau domba laga. Dalam kurun waktu tertentu akan muncul ternak yang unggul akibat seleksi alam. Dalam mempertahankan salah satu bangsa ternak tersebut, adalah melalui budaya seperti yang sekarang sudah ada yaitu budaya domba laga atau domba aduan. Budaya ini sejak lama dan secara turun-temurun berkembang di wilayah Periangan khususnya di kota Garut yang dikenal dengan domba Garutnya.
Yang terpenting adalah bagaimana caranya agar pada bangsa domba Garut tersebut tidak terjadi perkawinan sedarah (inbreeding). Untuk mengatasi hal itu, maka harus didatangkan ternak dari luar yang berasal dari rumpun yang sama. Beraneka ragamnya kualitas ternak yang tersedia tersebut, bila ditinjau dari sisi sosial budaya maka semua lapisan masyarakat khususnya para petani - ternak dapat memelihara ternak sesuai dengan selera dan kemampuan finansialnya. Dengan beranekaragamnya sifat dan selera masyarakat tersebut diharapkan perkawinan sedarah pada ternak yang dipeliharanya dapat dihindarkan. Untuk tetap terjaganya domba Garut tersebut tentunya Pemerintah harus menetapkan wilayah yang diperuntukan untuk pelestarian dan pemurnian domba Garut tersebut dengan jalan tidak memasukkan ternak domba dari rumpun lain masuk ke wilayah pelestarian tersebut.

Sejarah Adu Domba
Domba Garut yang sekarang ini berasal dari domba Merino yang masuk ke kota Garut pada tahun 1869, dan terjadi persilangan dengan domba lokal dan domba Kaapstad, kemudian secara bertahap menyebar ke beberapa wilayah seperti ke Limbangan, Kabupaten Sumedang dan Bandung (Merkens dan Soemirat, 1926 Dalam Heriyadi. , 2008). Domba Garut dipercaya berasal dari domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja yang memiliki ciri sangat spesifik, yaitu memiliki kombinasi telinga rumpung (rudimenter) dengan ukuran di bawah 4 cm atau ngadaun hiris dengan ukuran 4 - 8 cm dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong, warna dominan hitam terutama pada bagian muka dengan bentuk tubuh ngabaji (Heriyadi dan Surya, 2004 Dalam Heriyadi., 2008). Pada tahun 1900, bermula dari anak gembala yang iseng ketika melihat domba yang digembalakannya memiliki sifat agresif, maka para gembala domba tersebut disela -sela waktu menyabit mengadu domba - domba jantan yang ada disekitar mereka. Tahun 1905 orang tua para gembala atau para juragan
pemilik domba, mulai tertarik dan membuat agenda khusus untuk menyelenggarakan kegiatan adu domba antar kampung, sehingga lama kelamaan kegiatan tersebut mulai menyebar luas ke daerah lain, seperti ke Wilayah Kabupaten Bandung dan Sumedang. Tahun 1920-1930 kegemaran adu domba ini mulai ditampilkan di daerah perkotaan, termasuk pemah diselenggarakan di Alun-alun Bandung. Tahun 1942 -1949 kegiatan adu domba fakum, karena masa perang kemerdekaan. Tahun 1953 kegiatan adu domba mulai marak kembali, bahkan pada Tahun 1960 bermunculan ARENA -ARENA adu domba. Tahun 1970-an didirikan organisasi HPDI (Himpunan Peternak Domba Indonesia), kemudian tahun 1980 berubah menjadi HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia) dan disepakati untuk mengubah istilah adu domba menjadi ketangkasan domba, hal ini untuk mengubah citra adu domba yang negatif dan terkesan senantiasa terkait dengan perjudian, menjadi istilah yang memiliki konotasi positif. Selanjutnya di bawah wadah HPDKI ini hampir setiap tahun menjelang hari-hari bersejarah diadakan kontes dan ketangkasan Domba Garut antar Kabupaten dan Kotamadya se-Jawa Barat. Tahun 1983 diadakan kontes dan ketangkasan domba di Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan, sekaligus diselenggarakan rapat HPDKI yang dihadiri hampir seluruh perwakilan cabang. Salah satu butir rapat yang disetujui adalah mengubah istilah kontes dan ketangkasan domba menjadi Kontes Seni Ketangkasan Domba, sehingga dalam penyelenggaraan selanjutnya penekanan tangkas lebih diarahkan pada seni bukan pada tangkasnya. Penilaian lebih dititikberatkan pada adeg-adeg (postur, jingjingan, ules, warna bulu,corak atau motif bulu), keindahan pengambilan ancang-ancang, pola serangan atau teknik pukulan, teknik menghindar dan hal-hal lain yang menyangkut estetika (Herdiyadi, 2008) Evaluasi Produktivitas Diketahui bahwa domba tangkas (domba adu) yang merupakan domba Garut di daerah Periangan, adalah merupakan bagian kecil dari seni budaya yang ada di Indonesia yang secara tidak langsung ikut melestarikan ternak domba Garut tersebut. Sebagai contoh, para peternak domba tangkas (domba aduan) di Jawa Barat sudah terbiasa memilihara ternak domba Garut dengan baik, seperti memandikan ternak, menggunting kuku, memangkas bulu agar kelihatan indah dan memberikan pakan yang berkualitas (konsentrat, mineral dan jamu). Dengan pemeliharaan seperti itu maka akan memberikan pertumbuhan yang baik, bahkan dapat mencapai bobot hidup 100 kg (Sutisna. ,2001). Dikatakan lebih lanjut bahwa sebagian peternak domba adu / laga (domba tangkas) telah melakukan pemurnian bangsa dengan melakukan pencatatan khususnya mengenai silsilah baik domba jantan maupun betina.domba Garut. Damayanti et al., (2001) menyatakan bahwa domba Garut termasuk bangsa domba yang memiliki tingkat kedewasaan lebih awal, jarak beranak pendek dan pada domba jantan memiliki libido tinggi, kemudian bobot hidup jantan dan betina dewasa masing - masing mencapai 40 - 85 kg dan 34 - 59 kg. Menurut Ramada (2007) bahwa domba Garut jantan dapat memiliki berat sekitar 60 - 80 kg bahkan ada yang dapat mencapai lebih dari 100 kg. Sedangkan domba betina memiliki berat antara 30 - 50 kg. Ciri fisik Domba Garut jantan yaitu bertanduk, berleher besar dan kuat, dengan corak warna putih, hitam, cokelat atau campuran ketiganya. Ciri domba betina adalah dominan tidak bertanduk, kalaupun bertanduk namun kecil dengan corak warna yang serupa domba jantan. Sejatinya, kontes domba tangkas/laga (domba adu) di daerah Periangan Jawa Barat, merupakan bagian dari budaya yang memberikan sumbangsih kepada pelestarian dan pemurnian domba Garut. Hendaknya Pemerintah membeli domba tangkas/laga (domba adu) yang menang kontes untuk dijadikan bibit unggul.

Hastono
Penulis dari Balai Penelitian Ternak
Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 1 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar