Peternakan Domba Garut "Toekang Domba"

Salam Peternak Indonesia!
"Toekang Domba" adalah nama peternakan khusus Domba Garut yang kami kelola untuk pembibitan domba garut unggul. Peternakan Domba Garut "Toekang Domba" adalah langkah kecil kami dalam upaya turut melestarikan ternak asli Indonesia khususnya Domba Garut. Peternakan "Toekang Domba" berlokasi di daerah Soreang sebelah selatan kota Bandung yang merupakan daerah yang nyaman dan sejuk dengan ketinggian 800 meter diatas permukaan laut.



Sabtu, 10 Oktober 2009

PERKEMBANGAN DOMBA GARUT MENJADI DOMBA TANGKAS

Oleh : Denie Heriyadi

Cikal-bakal terbentuknya Domba Garut di Jawa Barat dimulai pada Tahun 1864, pada saat itu Pemerintah mulai memasukkan beberapa ekor Domba Merino yang pemeliharaannya diserahkan pada KF Holle, lima tahun kemudian yaitu pada Tahun 1869 domba-domba tersebut dibawa ke Kabupaten Garut, dan secara bertahap dilakukan penyebaran ke beberapa penggemar domba, antara lain kepada Bupati Limbangan (satu pasang) dan Van Nispen seekor pejantan Merino yang kebetulan telah memiliki seekor Domba Kaapstad, serta disebarkan ke beberapa daerah lain, seperti ke Kabupaten Sumedang, Bandung, dan Garut (Merkens dan Soemirat, 1926).

Penyebaran tersebut merupakan embrio terbentuknya ras Domba Priangan atau Domba Garut. Persilangan telah berlangsung secara terus menerus antara domba Merino X Domba Lokal, Domba Merino X Domba Lokal X Domba Kaapstad. Persilangan yang terus menerus tersebut berlangsung tanpa suatu rencana yang jelas dan tidak terarah, sehingga Domba Garut yang ada sekarang sangat heterogen, tidak memiliki standar bibit yang baku, dan cukup sulit menelusuri validitas komposisi darahnya. Versi lain mengenai asal usul Domba Garut, diyakini berasal dari domba lokal asli Garut, yaitu dari Daerah Cibuluh dan Cikeris di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja. Keyakinan tersebut dilandasi oleh teori bahwa seluruh bangsa domba yang ada di dunia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok domba bermuka putih (white face) dan domba bermuka hitam (black face).

Domba-domba muka putih secara genetik membawa warna yang lebih dominan dibandingkan warna pada domba muka hitam, sedangkan domba-domba yang diimpor masuk ke Indonesia sejak Jaman Belanda sampai sekarang kebanyakan dari kelompok domba muka putih (termasuk Domba Merino, Texel, dan Domba Ekor Gemuk), sehingga warna hitam yang banyak terdapat pada Domba Priangan atau Domba Garut dipercaya berasal dari domba lokal, khususnya domba lokal dari daerah Cibuluh dan Wanaraja yang sejak dahulu dikenal dengan domba-dombanya yang dominan berwarna hitam, termasuk dominan hitam pada tubuh secara keseluruhan, di samping itu Domba Cibuluh memiliki ciri yang sangat spesifik, yaitu memiliki kombinasi telinga rumpung (rudimenter) dengan ukuran di bawah 4 cm atau ngadaun hiris dengan ukuran 4 - 8 cm dengan ekor ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong, warna dominan hitam terutama pada bagian muka dengan bentuk tubuh ngabaji (Heriyadi dan Surya, 2004).

Setelah melewati kurun waktu yang cukup panjang, maka mulai terlihat sifat agresif yang dimiliki oleh domba-domba hasil persilangan tersebut. Kurang lebih pada Tahun 1900, anak-anak gembala yang biasa ngangon domba dan menggembalakannya secara liar dan bebas di daerah pesawahan sehabis masa panen, melihat domba-domba jantan peliharaannya memiliki sifat beradu yang tinggi. Rupanya sifat-sifat agresif yang dimiliki domba jantan peliharaannya, menggugah dan membangkitkan minat anak-anak gembala untuk menangkaskan domba-domba yang diangonnya dengan domba angonan anak gembala lainnya, aktivitas ini dilakukan disela-sela waktu menyabit rumput atau menunggu waktu sampai sore hari.

Hampir setiap sore mereka terlihat bersorak-sorai dengan riang gembira dan merasa kegirangan apabila domba piaraannya menang, hingga anak gembala sering terlambat pulang ke rumah dan akhirnya diketahui oleh orang tuanya atau pemilik domba yang mereka gembalakan, maka sejak saat itulah domba-domba jantan yang memiliki postur tubuh bagus dengan ukuran tanduk yang besar, mulai dipelihara secara terpisah dari domba-domba betina atau domba-domba jantan lain yang tanduknya tergolong kecil, selanjutnya domba-domba jantan dibuatkan kandang tersendiri dan dipelihara serta diberi perlakuan secara khusus.

Menurut perkiraan sejak Tahun 1905 orang tua dari anak-anak gembala atau para juragan pemilik domba, mulai tertarik dan membuat agenda khusus untuk menyelenggarakan kegiatan ketangkasan domba antar kampung, sehingga lama kelamaan kegiatan tersebut mulai menyebar luas ke daerah lain, seperti ke Wilayah Kabupaten Bandung dan Sumedang. Di Kabupaten Sumedang daerah pertama yang mulai mengembangkan pemeliharaan Domba Garut dan menyelenggarakan adu domba adalah Kecamatan Tanjung Sari, sedangkan Di Kabupaten Bandung lebih berkembang di daerah Bandung Selatan, antara lain Wilayah Majalaya, Ciparay, sampai Ciwidey.

Atas gagasan Mama Lurah Hormat dari Babakan Ciparay, yaitu Mama R. Mangkasat Natapraja, Orang tua dari R. Sule Natapraja yang dibantu oleh Mama Nata Situsaeur, H. Asasi, Edi Leuwi Panjang, Mohan Geger Kalong, dan lain-lain, kira-kira pada periode Tahun 1920-1930 kegemaran domba tangkas ini mulai ditampilkan di daerah perkotaan, termasuk pernah diselenggarakan di Alun-alun Bandung, tepatnya diselenggarakan pada lokasi di depan Mesjid Agung Bandung.

Pamidangan domba yang ada pada saat itu terdapat di Kebun Kalapa Babakan Tarogong, dan pada Tahun 1942 sampai dengan 1949 intensitas kegiatan adu domba mengalami penurunan yang sangat tajam, karena situasi politik yang tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan kegiatan sejenis itu, selanjutnya mulai Tahun 1953 kegiatan adu domba mulai marak kembali khususnya di Kabupaten Bandung dan sekitarnya, bahkan pada Tahun 1960 bermunculan pekalangan-pekalangan domba, antara lain di Kebon Lega Wilayah Bojong Loa pada lahan milik H. Mulia, Cigolendang di Wilayah Sukasari pada lahan milik Mama Adi, dll.

Kira-kira Tahun pada periode Tahun 1970-an didirikan organisasi penggemar domba di tingkat Jawa Barat yang dipimpin oleh H. Husen Wangsaatmaja, mantan Walikota Bandung, yaitu organisasi profesi yang bernama HPDI (Himpunan Peternak Domba Indonesia), sepuluh tahun kemudian pada Tahun 1980 diselenggarakan Musda HPDI Jawa Barat di Padalarang, dengan salah satu hasil rumusan melakukan perubahan nama nama dari HPDI menjadi HPDKI (Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia) dan disepakati untuk mengubah istilah adu domba menjadi ketangkasan domba, hal ini untuk mengubah citra adu domba yang negatif dan terkesan senantiasa terkait dengan perjudian, menjadi istilah yang memiliki konotasi positif. Selanjutnya di bawah wadah HPDKI ini hampir setiap tahun menjelang hari-hari bersejarah diadakan kontes dan ketangkasan Domba Garut antar Kabupaten dan Kotamadya se-Jawa Barat.

Tahun 1983 diadakan kontes dan ketangkasan domba di Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan, sekaligus diselenggarakan rapat HPDKI yang dihadiri hampir seluruh perwakilan cabang, salah satu butir rapat yang disetujui adalah mengubah istilah kontes dan ketangkasan domba menjadi Kontes Seni Ketangkasan Domba, sehingga dalam penyelenggaraan selanjutnya penekanan tangkas lebih diarahkan pada seni bukan pada tangkasnya. Penilaian lebih dititikberatkan pada adeg-adeg (postur, jingjingan, ules, warna bulu, corak atau motif bulu), keindahan pengambilan ancang-ancang, pola serangan atau teknik pukulan, teknik menghindar, dan hal-hal lain yang menyangkut estetika.

Sejalan dengan perkembangan sejarah tersebut, akhirnya Domba Garut yang kita kenal sekarang ini adalah merupakan Domba Garut tipe tangkas dan sulit dibedakan antara antara Domba Garut Tipe Daging dengan Domba Garut Tipe Tangkas, karena pada hakikatnya Domba Garut itu merupakan domba tipe tangkas.

(Sumber : Wawancara dengan tokoh-tokoh HPDKI, Peternak Domba Garut, dan studi dokumentatif dari beberapa tulisan, antara lain tulisan Endang Wiradikarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar