Tujuan pembangunan ekonomi suatu negara umumnya mengacu pada agenda internasional yang terangkum di dalam konteks Millennium Development Goals atau MDGs, yaitu pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pengentasan kemiskinan, kerawanan pangan, dan peningkatan kualitas kesehatan manusia dan lingkungan (UNDP, 2005).
Pada dekade ini, menurut Bank Dunia (2006), masih terdapat sekitar 1,1 miliar manusia di jagat ini yang memiliki pendapatan ekonomi kurang dari 1 dollar AS per hari. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya hidup di wilayah pedesaan, di mana usaha tani dalam arti luas merupakan satu-satunya opsi untuk bertahan hidup.
Berdasarkan hal tersebut, diyakini bahwa sektor pertanian dengan seluruh subsektornya merupakan komponen paling substansial dalam proses pembangunan ekonomi, terutama bagi negara-negara miskin dan berkembang.
Dalam perspektif pembangunan ekonomi terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa Jawa Barat saat ini sangat memerlukan upaya-upaya signifikan untuk mengakselerasi laju pembangunan dan pertumbuhan ekonominya.
Beberapa permasalahan pembangunan ekonomi yang masih dihadapi Jabar saat ini direfleksikan oleh data yang menunjukkan bahwa, pertama, pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) masih rendah, yaitu baru mencapai 70 atau peringkat ke-14 dari 33 provinsi. Rinciannya, IPM pendidikan mencapai 80 dan kesehatan 70. Adapun indeks daya beli ternyata cukup rendah, yaitu 60 atau setara dengan Rp 557.000 per bulan. Kedua, tingkat kemiskinan mencapai sekitar 12 juta jiwa dari 40 juta jiwa penduduk di Jabar. Ketiga, jumlah penganggur terbuka mencapai lebih dari 5,4 juta jiwa atau sekitar 16 persen dari jumlah angkatan kerja.
Selain angka dan data tersebut, beberapa fakta lingkungan yang terjadi sebagai akibat pemanasan global, yaitu banjir, longsor, angin puting beliung, curah hujan yang tinggi, masalah sampah, dan gagal panen pertanian, memperburuk kondisi dalam membangun ekonomi di Jabar.
Peternakan
Berdasarkan berbagai fenomena, fakta, dan data yang ada, untuk membangkitkan pembangunan ekonomi di Jabar setiap sektor harus mampu berkontribusi terhadap pengentasan serta merespons berbagai kendala dan permasalahan itu dengan fokus utama meningkatkan daya beli.
Berbagai upaya yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Jabar untuk mengatasi masalah tersebut tercermin dalam common goals-nya, yaitu peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; ketahanan pangan fokus pada komoditas beras, jagung, kedelai, dan ketersediaan protein hewani; peningkatan daya beli masyarakat; peningkatan kinerja aparatur; penanganan pengelolaan bencana; pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan; pengembangan infrastruktur; serta kemandirian energi dan air baku.
Mampukah subsektor peternakan berkiprah? Melihat berbagai fenomena itu, sebenarnya subsektor peternakan akan dan harus mampu menjawab sebagian besar amanat common goals Jabar. Hal ini didasarkan pada berbagai sejarah, fakta, dan data yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, bahwa subsektor peternakan mampu memberikan kontribusi pendapatan terhadap sektor pertanian sebesar 12 persen dengan pangsa tenaga kerja sekitar 30 persen.
Sektor industri dan jasa diandalkan memberikan pangsa pendapatan sebesar 51 persen, tetapi pangsa tenaga kerjanya hanya sekitar 18 persen. Berdasarkan data tersebut, ternyata subsektor peternakan telah memberikan kesempatan kerja yang jauh lebih luas daripada sektor industri dan jasa.
Hal ini dibuktikan pula dengan data Bapeda (2008) bahwa ternyata pada subsektor peternakan tiada seorang pun masuk kategori kelompok masyarakat miskin. Hal ini sangat mudah dimengerti karena seorang peternak tentu memiliki aset ternak yang bisa dikonsumsi kapan saja jika diperlukan.
Meningkat
Jika dilihat, kontribusi subsektor peternakan terhadap pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor pertanian di Jabar dari tahun 2000 hingga kini ternyata menunjukkan tren meningkat (r = 12,25 persen). Lihat tabel.
Walaupun pangsa subsektor peternakan terhadap PDRB pertanian di Jabar masih sangat kecil (8-15 persen), setiap tahun jumlahnya menunjukkan peningkatan sangat berarti, khususnya bila dibandingkan dengan subsektor tanaman pangan (r = -1,68), perkebunan (r = 0,6), kehutanan (r = -10,20), dan perikanan (r = -3,95).
Hal yang perlu diingat ialah bahwa pangsa peternakan mulai "take-off", sedangkan subsektor lain menuju landing. Mengapa semua hal tersebut terjadi? Fenomena ini sebenarnya sangat alamiah dan rasional karena subsektor peternakan dalam pembangunan pertanian merupakan unsur kunci yang tidak boleh ditinggalkan.
Selama ini tampaknya fungsi ternak di tengah masyarakat tani mulai bergeser, pupuk kandang diganti dengan pupuk anorganik yang bersubsidi, sedangkan pupuk kandang tidak disubsidi sehingga lahan mulai miskin hara. Ternak dipandang sebagai komoditas atau sumber pangan, bukan sebagai sumber daya. Salah kaprah cara pandang seperti inilah yang membuat para penentu kebijakan di lapangan memisahkan ternak dari fungsinya sebagai sumber daya sektor pertanian yang harus dijaga kelestariannya.Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak berlebihan jika peternakan disebut sebagai sumber pertumbuhan baru sektor pertanian di Jabar yang harus tetap dijaga untuk membangun ekonomi, khususnya masyarakat di pedesaan.
ROCHADI TAWAF Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Unpad dan Ketua II PB ISPI
Dikutip dari www.kompas.com (06/05/2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar